Sejak awal diberlakukan homelearning, guru terutama mulai sibuk mencari cara agar kegiatan belajar mengajar tetap berjalan walaupun masing-masing ada di rumah.
Maka beberapa hari itu bertebaranlah berbagai informasi, tawaran, saran menggunakan berbagai jenis aplikasi belajar online. Ada Google classroom, Edmodo, Skipe, Zoom dan yang masih banyak lagi. Semua menawarkan kemudahan, kecanggihan dan tanpa batas.
Masing-masing aplikasi punya kelebihan dan kekurangan. Ada yang sudah friendly dikenal luas ada juga nama-nama baru yang bermunculan menggantikan nama lama yang sudah tidak laku atau kalah canggih. Perkembangannya belajar via daring luar biasa, saking luar biasa menarik dan entertainment nya membuat kegiatan belajar mengajar di kelas jadi hambar tidak menarik lagi buat anak-anak jaman sekarang. Sekolah dan guru merasa mendapat saingan.
Pembelajaran via daring, mulai digandrungi awal tahun 2010 an. Sosialisasi penggunaan aplikasi belajar via online sudah lama dikampanyekan. Selain sebagai produk kreatif jamannya, juga diakui belajar cara ini
sangat canggih, asyik, seru, sangat memudahkan, hemat waktu dan hemat biaya. Dan yang penting, yang menggunakan akan disebut keren.
Ketika tiba-tiba semua sekolah fokus mencari-cari strategi belajar jarak jauh yang paling mudah buat guru, orangtua dan anak ternyata pilihan paling realistis yang sesuai nilai ekonomi, demografi dan geografi adalah menggunakan aplikasi WhatsApp. Aplikasi sejuta umat, paling handy, paling gampang diakses. Bahkan untuk siswa daerah pedalaman sekalipun.
Maka mayoritas sekolah menggunakannya karena beberapa alasan. Tidak semua anak memiliki PC apalagi laptop di rumahnya. Tidak semua anak memiliki jaringan Wifi di daerahnya, apalagi di rumahnha. Yang penting lagi tidak semua orangtua “bersahabat” dengan berbagai aplikasi baru nan canggih. Apalagi pakai acara download dulu, sign up dulu, bikin password dulu dan seterusnya yang bikin riweuh.
Tetapi setelah berjalan dua pekan lebih, homelearning dirasa hampa, tak lagi gereget, hilang antusiamenya terutama ini dirasakan para guru. Mungkin juha anak-anak. Mereka merasa kehilangan koneksi, hubungan batin antar guru dan muridnya. Guru merasa hambar dalam mengajar, tidak ada lagi sentuhan di kepala anak, menepuk pundaknya saat mereka bersikap baik, melotot marah saat mereka bising di kelas, tergelak-gelak tertawa bersama, makan siang bareng atau sekedar ngobrol ringan saat istirahat.
Guru merasa kehilangan special moment nya. Moment saat guru merasa berhasil mengajarkan sesuatu. Moment ketika anak bilang, “… Oohh begitu caranya!” Moment melihat wajah antusias anak-anak saat mendengar penjelasan gurunya. Atau momen ketika anak-anak berebut menjawab pertanyaan. Special Moments inilah yang membuat semua guru, merasa hidupnya lebih hidup. Seperti baterei yang baru dicharge, nambah bersemangat.
Belajar di sekolah dasar tentulah berbeda dengan di sekolah lanjutan. Di sekolah dasar porsi belajar dan bermain, bermain sambil belajar masih kental porsinya. Karena di usia tersebut anak masih perlu bermain, untuk mengolah dirinya, melatih emosinya, dan menumbuhkan karakter positifnya.
Dengan bermain sambil belajar anak belajar berkomunikasi, dibiasakan bekerjasama, dilatih kreativitasnya dan ditajamkan cara berpikirnya. Bahkan dikoreksi jika perilakunya tidak tepat. Dibangun kebiasaan baiknya, misalnya sholat berjamaah, tahu kapan mengucapkan salam, maaf dan terima kasih.
Siapakah yang membimbing, mengarahkan dan menemani anak bermain dan belajar di sekolah?
Kecanggihan tehnologi belajar saat ini sejogyanya dipahami sebagai alat bantu. Alat bantu belajar anak. Karena ia alat, maka penting adanya orang dewasa yang memberikan bimbingan dan arahan bagaimana menggunakan alat tersebut secara bijaksana. Mungkin materi pembelajaran akan lebih seru dan menarik dengan menggunakan aplikasi tertentu, namun guru yang membimbing dan mengarahkan cara berpikir dan berprilaku yang benar lebih mempunyai peran penting lagi.
Jangan sampai anak kita kelak menjadi generasi instan, rapuh dan tidak tahan banting, karena tidak memiliki ketrampilan berpikir yang benar.
Padahal kita sedang mempersiapkan mereka untuk hidup di jamannya, yang kita tidak tahu seperti apa jaman mereka kelak. Sekolah kita adalah Indonesia di masa depan. Maka apapun aplikasinya, gurunya harus ada.
Shanti Hayuningtyas
Kepala Sekolah SD Silaturahim Islamic School, Cibubur