You are currently viewing Aku (Guru),UN dan Corona – Gusti Rahayu

Aku (Guru),UN dan Corona – Gusti Rahayu

Saya tergelitik dengan postingan anak muda milenial, sesaat membuka instagram beberapa menit yang lalu.”ciee.. Selamat ya,kamu lulus UN jalur virus”. Ada juga yang bilang gini, “Nanti corat coret baju nya via pictart aja ya”. Malah ada juga yang menjadikan momen “nembak” cewek, mumpung UN dihapus, sebab tidak ada alasan buat nolak karena fokus UN. Dan masih banyak lagi postingan yang berseliweran di sosial media tentang dampak UN dihapuskan saat ini.

Memang rencana penghapusan UN sudah diinisiasi oleh Mas Mentri, panggilan khas Menteri Pendidikan sekarang, Nadiem Makarim untuk meniadakan UN tahun depan, diganti dengan merdeka belajar. Guru harus memutar otak untuk membuat lulusan untuk bisa apa, bukan tahu apa. Lulusan diharapkan mempunyai skill untuk bisa lebih mandiri, kreatif, memiliki jiwa problem solver dan mampu berkolaborasi. Skill guru disini diharapkan dapat mengantarkan peserta didik menemukan “karpet merah” untuk masa depannya, sebab assasment yang mengacu pada nilai UN saja, dirasa tidak adil bagi sebagian murid yang tidak cakap dalam berhitung dan menghapal.

Adapun yang bisa di lakukan oleh tenaga pendidik dalam hal merdeka belajar adalah mengganti penilaian kognitif dengan penilaian autentik. Mengutip dalam artikel Bapak Asep Sapaat, guru saya di Sekolah Guru Indonesia, yang dimuat di Harian Pikiran Rakyat, beliau mengambil catatan dr buku (Howay. et.El dalam Jacob 2004, hal 9). Disini di jelaskan bahwa penilaian autentik itu menggunakan 5 alat, yaitu:

  1. Kasus, misalnya mengembangkan kemampuan guru sebagai pengambil keputusan.
  2. Portofolio untuk merefleksikan guru sebagai seorang pelajar kontiniu yang direfleksikan melalui praktek.
  3. Refleksi kinerja mengajar dan refleksi guru sebagai “aktor” di kelas.
  4. Tindakan berupa penelitian dan inquiry.
  5. Project perubahan kelas dan sekolah sebagai agen perubahan moral.

Apabila ke lima alat tersebut dapat di implementasikan secara kontiniu, terarah dan berkesinambungan, sangat besar harapannya terlahirlah guru- guru yang profesional di bidangnya dan anak- anak yang lebih mandiri dan bertanggung jawab.

Ditinjau dari siswa, penilaian otentik ini lebih menjadikan siswa tertantang. Siswa lebih proaktif dan partisipatif tanpa mengedepankan tes yang mungkin saja berpengaruh pada psikologi mereka, yang mungkin tertekan atau mungkin saja bisa panik karena lupa apa yang dipelajari sebelumnya.

Ditinjau dari sudut pandang guru, mereka bertindak sebagai fasilitator, dimana pembelajaran berpusat pada siswa. Guru mungkin saja lebih mudah mengajar, karena siswa aktif mencari sendiri. Dan tentunya kepada masyarakat luas, diharapkan lebih proaktif melihat perkembangan hasil belajar siswa.

Dengan melihat uraian di atas, saya menilai penilaian autentik menjadi salah satu alternatif untuk melihat perkembangan hasil belajar siswa, dan mengembangkan kompetensi pedagogik seorang guru. Memang tidak mudah melakukan dan merealisasikannya. Tapi bukankah kita berjuang bersama untuk semuanya menjadi mudah? kunci nya adalah komitmen dan konsisten. Zaman sekarang yang serba online dan instant ini bukankah guru juga harus mengembangkan ilmu dan keahliannya sebagai pengajar?

Nabi kita pun pernah mengingatkan, “anak-anakmu hidup disaat ini, zaman ini, jadi didiklah mereka sesuai dengan zamannya”

Dan bukankah tugas guru itu perpanjangan tugas dari seorang nabi?

Wallahu ‘alam.

Oleh: Gusti Rahayu, alumni Sekolah Guru Indonesia,
Koordinator Kurikulum, Wali kelas 6 SD Silaturahim Islamic School.

 

Leave a Reply