masihkah disebut guru gusti rahayu

MASIHKAH DISEBUT GURU?

Masihkah disebut guru?

Guru insentif, masihkah layak disebut sebagai guru?

Jika kita mendengar kata Suku Anak Dalam (SAD), pastilah kita akan membayangkan hutan belantara, orang rimba, terbelakang, primitive serta bar-bar. Tidak mau maju, menutup diri dari lingkungan dan tidak menerima perkembangan zaman. Suku Anak Dalam atau yang biasa disebut SAD adalah kelompok masyarakat yang berada di hutan belantara Sumatra tepatnya di Propinsi Jambi. Asal usul SAD ini masih menjadi topik yang hangat dibicarakan, berbagai versi muncul darimana SAD ini berasal.

Ada yang mengatakan berasal dari orang Melayu sesat yang disebut Moyang Segayu, ada juga yang mengatakan dari Kabupaten Tanah Datar Sumatra Barat. Versi tersebut muncul dikarenakan berbagai kemiripan antara lain wajah, postur tubuh, warna kulit, bahasa sehari-hari serta keturunan yang bersifat matrilineal dari Suku Minangkabau.

Beberapa waktu yang lalu, kami dari relawan pendidikan bertolak ke Sumatra, perjalanan lebih kurang 10 jam tak menyulut semangat kami untuk menyaksikan bagaimana SAD hidup dan bersosialisasi. Perkebunan karet dan sawit menyambut kami di antara jalanan yang rusak dan masih banyak lubang-lubang besar yang menganga, hal tersebut dikarenakan banyak nya truk berukuran besar menuju perusahaan sawit di daerah tersebut.

Berawal dari audiensi ke Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Sarolangun, kami dipandu bagaimana bersosialisasi, bersikap serta bagaimana adat istiadat disana, karena adat disana masih kental yang apabila dilanggar akan mendapatkan sangsi adat sesuai kesalahan yang diperbuat.

Perjalanan yang memakan waktu lama tersebut terobati setelah kami disambut dengan tangan terbuka oleh masyarakat disana. Kami tinggal bersama warga pendatang, karena di Suku Anak Dalam belum bisa bersosialisasi sepenuhnya dengan orang luar. Kami bertemu dengan kepala suku yang mereka sebut dengan Tumenggung. Tumenggung menjadi orang kepercayaan kelompoknya.

Dimana setiap kelompok akan berpindah-pindah sesuai arahan dari Tumenggung mereka. Setelah berbagai arahan dan cerita dari Tumenggung, barulah kami memulai “aksi” bersama anak-anak SAD. Dimulai dari menyanyikan lagu Indonesia Raya bersama-sama, bermain sambil belajar dan mewarnai.

Kami dibantu oleh guru disana. Guru SAD merupakan warga pendatang yang rela di bayar se adanya, bahkan mereka rela merogoh dari kantong mereka sendiri agar supaya anak–anak SAD mau belajar. Berbagai upaya dilakukan agar mereka tertarik. Dimulai dari membangunkan, memandikan bahkan memasak sarapan buat SAD. Kegiatan dimulai dengan senam pagi bersama, ice breaking baru setelah itu mereka di ajari membaca, menulis dan berhitung.

Guru insentif itulah mereka di kenal. Di bayar seadanya, berlelah menjemput anak-anak SAD untuk mau belajar, karena ketika ada salah seorang anak yang datang ke sekolah hari ini, belum tentu akan datang besok hari, karena bisa jadi mereka dilarang orang tuanya atau ikut berburu. Kegiatan tersebut mereka lakukan setiap hari tanpa lelah dan mengeluh.

Ketika anak-anak SAD sudah layak untuk masuk ke sekolah formal, barulah mereka dipindahkan walaupun umur mereka sudah lewat dari 10 tahun di kelas 1. Sekolah untuk SAD mereka sebut dengan Paud Punti Kayu. Paud Punti kayu di desa tersebut sudah ada tiga  tempat dan itu tersebar di kelompok-kelompok SAD.

Saya sebagai guru di kota besar jadi berfikir dan merasa. Apakah layak kalau mengeluh disaat teman guru disana tak pernah lelah mengajar dengan kondisi terbatas? Apakah kita sebagai guru pantas mengabaikan amanah disaat fasilitas serba ada di depan mata? Jawaban itu ada di hati kita masing-masing.

Oleh: Gusti Rahayu, S.Si (SD Silaturahim Islamic School)

 

Kunjungi juga

Insan Mandiri Cibubur

 

Leave a Reply