Apa itu sekolah? Kata sekolah sendiri berasal dari Dalam Bahasa Latin, sekolah adalah; skhole, scola, scolae atau skhola yang memiliki arti: waktu luang atau waktu senggang, di mana ketika itu sekolah adalah kegiatan di waktu luang bagi anak-anak di tengah-tengah kegiatan utama mereka, yaitu bermain dan menghabiskan waktu, menikmati masa anak-anak dan remaja. Kegiatan dalam waktu luang itu adalah mempelajari cara berhitung, cara membaca huruf dan mengenal tentang moral (budi pekerti) dan seni.
Pada zaman Yunani Kuno penduduk saat itu menggunakan waktu luang mereka untuk berkunjung ke para cendikiawan dan bertanya hal ikhwal kehidupan. Mulai dari permasalah sosial, agama, bahasa dan sastra, tehnik perang dan segala macam pengetahuan yang berguna bagi kehidupan mereka.
Sementara menurut sejarah, sekolah modern pertama kali didirikan di Mesir Kuno sekitar tahun 3000 – 500 sebelum Masehi (SM). Kegiatan pembelajaran pada saat itu dilaksanakan di sebuah lapangan terbuka dan dengan menggunakan metode monolog atau ceramah.
Di dalam KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, sekolah berubah arti menjadi: bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran.
Arti sekolah mengalami perubahan makna, semula hanya sebagai kegiatan di waktu senggang, sekolah kini menjadi kegiatan sepanjang hari. Semula kegiatan yang bersifat pribadi – perorangan sekarang menjadi program wajib di semua negara. Semula hanya untuk mempelajari ilmu yang dianggap penting untuk hidup sehari, sekarang mempelajari apa saja, bahkan sampai ilmu yang tidak dibutuhkan anak didik.
Semula orangtua mendatangkan governess biasanya seorang wanita yang datang ke rumah-rumah orang kaya mengajari anak-anak mereka menulis&membaca, sekarang murid mendatangi gedung-gedung yang namanya sekolah.
Dahulu di zaman tabi’in para pelajar harus berjalan jauh berhari-hari mencari guru yang mau menerima mereka sebagai murid. Sekarang sekolah yang mencari murid dengan membuka pendaftaran murid baru. Masih di zaman tabi’in, setelah tuntas masa belajar dan dinyatakan mampu menyebarkan ilmu tersebut kembali, sang guru yang menulis dan memberi ijazah secara pribadi. Sekarang tanda lulus belajar dicetak masal dan diberikan oleh lembaga sekolah.
Tiba-tiba saat ini, di semua tempat, di semua negara di semua sekolah karena dipaksa oleh kejadian luar biasa, kita mau tidak mau, suka atau tidak suka harus beradaptasi dengan cara baru. Termasuk cara belajar.
Tidak ada cara lain untuk sekolah dan orangtua selain beradaptasi, agar tetap bertahan ‘hidup’. Sekolah, guru dan orangtua apalagi siswa dipaksa untuk mencari cara, strategi, metode baru yang cocok dengan kebutuhan anak yang sedang dikarantina di rumah.
Jika semula bimbingan, belajar dan pengajaran adalah tanggung jawab guru di sekolah, tiba-tiba hari ini semua dilimpahkan ke rumah. Kepada ayah bundanya.
Belum seminggu home learning, sudah banyak keluhan, curhatan, jeritan hati orangtua karena harus mengajari 7 pelajaran, membimbing anak-anak belajar dan menyelesaikan tugas dari sekolah.
Ada yang tiba-tiba punya keluhan darah tinggi, jantung berdebar, muncul jerawat, sariawan bahkan kesulitan mengelola emosi memghadapi anak sendiri.
Jangan dikira hanya orangtua yang – shock culture_, anak juga demikian. Bertahun-tahun mental anak dibentuk bahwa sekolah adalah tempat belajar, di rumah tempat santai, &istirahat. Tiba-tiba cara berpikir itu diubah drastis. Belajar di rumah ayah bunda gurunya, bapak ibu guru hadir, teman-teman apalagi.
Bisa dimaklumi shock culture yang dialami banyak orangtua, apalagi yang bekerja di luar rumah yang dipaksa keadaan harus kreatif membagi waktu dan tenaga untuk menemani anak belajar.
Kreatif membuat jadwal kegiatan agar orangtua dan anak bisa tetap nyaman, santai dan tetap belajar. Dan itu sangat tidak mudah. Terutama kreatif mencati aktivitas melawan kekuatan godaan hape. Sebab di sekolah 8-10 jam anak mampu tanpa hape tetap asyik. Bagaimana kalau di rumah? Disini kreatifitas orangtua ditantang.
Komitmen yang kuat ayah bunda dalam mengelola waktu anak selama home learning, adalah kuncinya. Jika kometmin dibuat duduk bersama, sebagai urusan bersama, dituliskan bersama, insyaallah kehebohan di awal akan berubah perlahan menjadi kebiasaan baik.
Rasanya sekolah kembali seperti Jaman Romawi, orangtua yang pegang peran pembelajaran di rumah dan lRasullah SAW juga berkata, bahwa ibu dan rumah adalah guru dan sekolah pertama bagi anak-anak. Fungsi ini sekarang mau tidak mau suka tidak suka dimulakan kembali ke rumah dan ayah bunda. Anggaplah kita membayar hutang pendidikan pada anak, karena selama ini masih mengandalkan sekolah dan guru terutama mendidik akhlak dan adab yang baik.
Mark Twain, penulis Inggris pernah menulis, pekerjaan mendidik seperti pekerjaan menenggelamkan 35 gabus secara bersamaan.
Sulit, tidak mungkin kecuali hanya yang memiliki komitmen yang melakukannya. Apakah itu guru, apakah itu anda? Ayahbunda?
Anda pasti bisa!
Shanti Hayuningtyas
KS Silaturahim Islamic School