nilai jelek pasti soalnya yang salah bukan siswanya
nilai jelek pasti soalnya yang salah bukan siswanya

NILAI JELEK, SOALNYA YANG SALAH

Nilai jelek pasti soalnya yang salah, bukan anak kita

Apakah ada soal tes yang salah? Jawabnya banyak. Bisa juga terjadi jawaban siswanya tidak sesuai dengan keinginan guru pembuat soalnya. Akhirnya berdampak pada nilai yang jelek. Beberapa contoh soal dan jawaban yang pernah saya temui di lapangan sebagai berikut:

  1. Kemampuan makhluk hidup untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya disebut ….. (dijawab: silaturahmi).
  2. Cicak menghindari diri dari musuhnya dengan cara ….. (dijawab: berlari).
  3. Kupu-kupu mempunyai mulut penghisap yang disebut …. (dijawab: sedotan).

Dan kalau mau diteruskan jumlahnya mencapai ratusan. Namun yang ingin saya tulis pada artikel ini sebenarnya bukan masalah soal tes, jawaban, dan nilainya.

Namun tes-tes tersebut mutlak dijadikan ukuran untuk menilai kemampuan anak kita secara keseluruhan. Hal inilah yang sebenarnya tidak adil dan kurang tepat. Ada dua penyebabnya. Pertama validitas dan kualitas soal-soal tes tersebut sangat rendah. Kualitas tes yang paling rendah adalah jenis pilihan ganda, yaitu siswa diminta memilih jawaban A, B, C atau D.

Lalu jenis penilaian seperti itu tiba-tiba dijadikan satu-satunya alat ukur untuk menilai kemampuan anak kita. Terlalu sempit. Lalu lahirlah sebutan-sebutan negatif, tidak mampu, bodoh, tulalit dan sebagainya.

Salah satu buku yang mempengaruhi saya adalah The Tyranny of Testing karya Dr. Banesh Hoffmann. Hoffman menjelaskan bahwa  soal pertanyaan pilihan ganda yang merupakan perangkat utama ujian masuk perguruan tinggi sangat tidak manusiawi dan menganggap semua pelajar adalah para robot.

Penyebab kedua adalah masih ada ratusan jenis penilaian pada ranah keterampilan yang tidak pernah dicatat sebagai ukuran kemampuan anak kita.

Percayalah anak kita adalah bintang. Namun bintang ini sering diredupkan, tidak bercahaya lagi disebabkan tes-tes seperti di atas. Padahal dalam teori penilaian, tes itu hanya satu-satunya jenis penilaian dalam ranah pengetahuan (kognitif).

Kemampuan anak kita juga dapat digali pada ranah keterampilan (psikomotik) dan sikap (afeksi). Pada ranah keterampilan ada ratusan jenis penilaian, yang dapat dikelompokkan menjadi tiga besar, yaitu unjuk kerja, karya, dan proyek.

Contoh unjuk kerja adalah kala anak kita berdiskusi, berdebat, melakukan presentasi, bercerita, membaca puisi, demonstrasi, dan lain-lain. Contoh karya anak kita adalah kemampuan menggambar, mendisain, membuat poster, membuat maket, bagan, dan lain-lain. Contoh aktivitas proyek antara lain anak kita tertantang  melakukan eksperimen, observasi, wawancara, riset, dan lain-lain.

Bayangkan, sekarang kita mengetahui, bahwa kemampuan anak ktia dapat dilihat dalam banyak ranah. Tidak hanya semata-mata tes saja. Sayang sekali, tidak semua guru dan sekolah mencatat banyak aktivitas non tes di atas menjadi bagian dari alat mengukur kemampuan amak kita. Padahal jika aktivtias-aktivitas terebut dikumpulkan akan menjadi portofolio anak kita yang berguna bagi kehidupannya setelah sekolah.

Ayolah menjadi orangtuanya manusia harus memandang kemampuan anak kita seluas samudera. Jangan dipersempit menjadi nilai-nilai hasil tes di atas kertas. Inilah level ketiga dari RAHASIA MENJADI ORANGTUANYA MANUSIA. Mau tahu level berikutnya, terus baca artikel selanjutnya.

oleh: Munif Chatib (Direktur Pendidikan YPSJ)

 

 

 

This Post Has 2 Comments

Leave a Reply